Rabu, 24 Juni 2009

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN


PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN

Oleh : Mauiedzatun Nisa'
A. Pengertian Pengembangan, Program, dan Pembelajaran

• Pengertian Pengembangan
Pengembangan adalah suatu kegiatan yang menghasilkan sesuatu alat atau cara merevisi sesuatu yang telah ada menjadi baik. Selama kegiatan itu dilaksanakan dengan maksud mengadakan penyempurnaan yang akhirnya alat atau cara tersebut dipandang cukup bagus untuk digunakan seterusnya maka berakhirlah kegiatan pengembangan.

• Pengertian Program
Program diasumsikan sebagai rancangan kegiatan selama satu periode atau satu tahun. Menurut kamus besar bahasa Indonesia program adalah rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan.

• Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.
Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal : pre tes, proses, dan post tes.




B. Pengembangan Program Pembelajaran

1. Program Tahunan
Program Tahunan adalah rancangan kegiatan dalam satu tahun pelajaran. Program tahunan merupakan program umum setiap mata pelajaran untuk setiap kelas, yang dikembangkan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini perlu dipersiapkan dan dikembangkan oleh guru sebelum tahun ajaran, karena merupakan pedomman bagi pengemmbangan program-program berikutnya, yakni program semester, program mingguan, dan program harian atau program pembelajaran setiap pokok bahasan, yang dalam KBK dikenal modul.
Sumber-sumber yang dapat dijadikan bahan pengembangan program tahunan antara lain:
a. Daftar kompetensi standar (standar competency) sebagai konsensus nasional, (GBPP) setiap mata pelajaran yang akan dikembangkan.
b. Skope dan Sekuensi setiap kompetensi. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan materi pembelajaran. Skope adalah ruang lingkup dan batasan-batasan keluasan setiap pokok dan sub pokok bahasan, sedangkan sekuensi adalah urutan ligis dari setiap pokok dan sub pokok bahasan. Pengembangan skope dan sekuensi ini bisa dilakukan oleh masing-masing guru mata pelajaran, dan bisa dikembangkan dalam kelompok kerja guru (KKG) untuk setiap mata pelajaran.
c. Kalender Pendidikan. Penyusunan kalender pendidikan selama satu tahun pelajaran mengacu pada efisiensi, efektifitas dan hak-hak peserta didik. Dalam kalender pendidikan dapat kita lihat beberapa jam waktu efektif yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran, termasuk waktu libur, dan lain-lain. Perlu memperhatikan kalender pendidikan.



2. Program Semester
Program semester adalah rancangan kegiatan selama satu semester atau setengah tahun. Program semester berisikan garis-garis besar mengnai hal-hal yang hendak dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut. Program semester ini merupakan penjabaran dari program tahunan. Pada umumnya program semester ini berisikan tentang bulan, pokok bahasan yang hendak disampaikan, waktu yang direcanakan, dan keterangan-keterangan.

3. Program Modul (Pokok Bahasan)
Program modul atau pokok bahasan pada umumnya dikembangkan dari setiap kompetensi dan pokok bahasan yang akan disampaikan. Program ini merupakan penjabaran dari program semester. Pada umumnya modul berisikan tentang lembar kegiatan peserta didik, lembar kerja, lembar soal, lembar jawaban, dan kunci jawaban. Dengan demikian, peserta didik bisa belajar mandiri, tidak harus didampingi oleh guru, kegiatan guru cukup menyiapkan modul, dan membantu peserta yang menghadapi kesulitan belajar.

4. Program Mingguan dan Harian
Program Mingguan dan harian adalah rancangan kegiatan selama satu minggu atau satu hari. Untuk membantu kemajuan belajar peserta didik, di samping modul perlu dikembangkan program mingguan dan harian. Program ini merupakan penjabaran dari program semester dan program modul. Melalui program ini dapat diketahui tujuan-tujuan yang telah dicapai dan yang perlu diulang, bagi setiap peserta didik. Melalui program ini juga diidentifikasi kemajuan belajar setiap peserta didik, modul yang dikerjakan, dan peserta didik yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata kelas. Bagi peserta didik yang cepat bisa diberikan pengayaan, sedangkan bagi yang lambat dilakukan pengulangan modul untuk mencapai tujuan yang belum dicapai dengan menggunakan waktu cadangan.
t
5. Program Pengayaan dan Remedial
. Program remedial pengayaan adalah rancangan kegiatan dalam rangka memberikan tambahan materi kepada siswa yang kemampuannya sudah mencapai Standar Kelulusan Minimal. Sedangkan program remedial adalah rancangan kegiatan yang dilakukan dalam rangka perbaikkan nilai bagi siswa yang belum mencapai Standar Kelulusan Minimal.
Program ini merupakan pelengkap dan penjabaran dari program mingguan dan harian. Berdasarkan hasil analisis terhadap kegiatan belajar, dan terhadap tugas-tugas modul, hasil test, dan ulangan dapat diperoleh tingkat kemampuan belajar setiap peserta didik. Hasil analisis ini dipadukan dengan catatan-catatan yang ada pada program mingguan dan harian, untuk digunakan sebagai bahan tindak lanjut proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Program ini juga mengidentifikasikan modul yang perlu diulang, peserta didik yang wajib mengikuti remedial, dan yang mengikuti program pengayaan.

6. Program Bimbingan dan Konseling Pendidikan
Sekolah berkewajiban memberikan bimbingan dan konseling kepada peserta didik yang menyangkut pribadi, sosial, belajar, dan karir. Selain guru pembimbing, guru mata pelajaran yang memenuhi kriteria pelayanan bimbingan dan karier diperkenankan memfungsikan diri sebagai guru pembimbing. Oleh karena itu, guru mata pelajaran senantiasa berdiskudi dan berkordinasi dengan guru bimbingan dan konseling secara rutin dan berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Burhan Nugyantara, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Yogyakarta: BPFE, 1988
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gitamedia, 2003

Selasa, 23 Juni 2009

Aplikasi Behaviorisme dalam Pembelajaran Muhadatsah


APLIKASI BEHAVIORISME
DALAM PEMBELAJARAN MUHADATSAH

Oleh: Mauidzatun Nisa

A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar. Prinsip-prinsip teori behaviorisme yaitu Obyek psikologi adalah tingkah laku, semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek, dan mementingkan pembentukan kebiasaan.
Behaviorisme muncul sebagai reaksi terhadap strukturalisme dan fungsionalisme yang cenderung melihat perilaku manusia dari perspektif internal seperti biologis dan proses mental yang tidak dapat dilihat dan diamati. Karena itu, teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia itu merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor eksternal (di luar diri manusia). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menurut aliran ini, belajar merupakan proses responsi karena adanya stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa: motivasi, ganjaran (reward), hukuman (punishment), dan lingkungan yang kondusif.
Teori ini dirintis oleh Ivan Pavlov (1849-1929) dengan teorinya yang menghubungkan antara stimulus primer (makanan), stimulus sekunder (nyala lampu dan bunyi lonceng atau bel) dan respon (keluarnya air liur), berdasarkan penelitiannya, Pavlov menemukan bahwa air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala, meskipun tidak ada makanan. Hal ini membuktikan bahwa anjing sudah terbiasa dengan symbol/stimulus nyala lampu dan bel yang menandakan datangnya makanan, maka saat bel dan lampu dinyalakan, tetap saja air liur keluar dari lidah anjing walaupun makanan tidak kunjung dating.
Lalu dikembangkan Edward Thorndike dengan teori "hukum efec" yang memberikan perhatian pada ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. kemudian dikembangkan oleh psikolog Amerika, John B. Watson (1878-1958) dan akhirnya dimatangkan oleh Burhus F. Skinner (1904-1990).
Menurut Skinner, belajar dan memperoleh bahasa sama dengan pemerolehan kebiasaan, karena bahasa merupakan bagian dari perilaku manusia. Belajar dan mengajarkan bahasa sama artinya belajar dan mengajarkan perilaku, yang dapat terbentuk melalui adanya respons terhadap stimulus, pengulangan, dan penguatan (reinforce-ment) dalam bentuk performansi berupa praktik berbahasa.
Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Dalam hal ini, memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli, maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. seharusnya Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Menurut Skiner, belajar memiliki prinsip:
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5. Dalam pembelajaran digunakan shapping.
Bedasarkan paparan tersebut, jelaslah bahwa perhatian para penganut madzhab ini lebih menitik beratkan pada factor eksternal dalam pembelajaran dan merekayasa lingkungan pembelajaran adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan.
Berbeda dengan aliran kognitivisme (al-madrasah al-ma'rifiyyah) yang menekankan aspek mental, behaviorisme cenderung melihat pembelajaran bahasa sebagai proses mekanik-deterministik [seperti mengajarkan burung beo berbicara), sebuah proses pembelajaran yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan pembiasaan, bukan oleh faktor-faktor kognisi dan mentalistik. Karena itu, keberhasilan belajar dan pembelajaran bahasa menurut teori ini terletak pada tiga kata kunci, yaitu: peniruan, pengulangan dan praktik berbahasa.
Karena bahasa merupakan bagian dari perilaku, dan perilaku kebahasaan yang pertama kali tampak dalam kehidupan sosial manusia adalah ekspresi verbal, maka behaviorisme melahirkan pendekatan aural-oral yang membutuhkan partisipasi yang dominan oleh guru untuk memilih bentuk stimulius, memberikan ganjaran, hukuman, dan pengutan besserta jenisnya. Pendekatan ini berprinsip bahwa bahasa pada dasarnya adalah ujaran, bukan tulisan. Bahasa tulis merupakan manifestasi dari bahasa lisan. Implikasinya adalah bahwa prinsip utama dan pertama dalam pembelajaran bahasa adalah menda-hulukan pembelajaran keterampilan menyimak dan berbicara, daripada keterampilan membaca dan menulis. Teori ini menekankan pentingnya pembelajaran bahasa berbasis keterampilan mendengar dan berbicara. Jadi, tujuan pembelajaran bahasa, menurut aliran ini, adalah mempunyai kemampuan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan mempunyai pemilikan tentang bahasa yang dipelajari. Dari teori yang dikemukakan oleh thorndikedan Ivan Pavlov, menghasilkan beberapa hukum yang dihasilkan dari pendekatan behaviorsme, yaitu:
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya
a. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat.
b. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
B. Pembelajaran Muhadatsah
Kemahiran berbicara (Muhadatsah) merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa modern termasuk bahasa Arab. Muhadatsah (berbicara) merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timbal balik dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Pembelajaran berbicara (Muhadatsah) mempunyai aspek komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan demikian latihan muhadatsah harus terlebih dahulu didasari oleh (1) kemampuan mendengarkan, (2) kemapuan mengucapkan, dan (3) penguasaan (relatif) kosa kata dan ungkapan yang memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan maksud dan fikirannya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa latihan berbicara (muhadatsah) merupakan kelanjutan dari latihan menyimak yang di dalam kegiatannya juga terdapat latihan mengucapkan.
Kunci keberhasilan pembelajaran ini sebenarnya ada pada guru. Guru hendaknya secara tepat memilih topik pembicaraan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, dan memiliki kreativitas dalam mengembangkan model-model pembelajaran berbicara yang banyak sekali variasinya. Faktor lain yang menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa adalah keberanian murid dan perasaan tidak takut salah. Oleh karena itu guru harus dapat memberikan dorongan kepada siswa agar berani berbicara kendatipun dengan resiko salah. Siswa hendaknya ditekankan bahwa takut salah adalah kesalahan yang paling besar.
Sistem pembelajaran Bahasa Arab ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa adalah gejala alami manusia untuk menyampaikan ide kepada orang lain atau menerima ide dari orang lain. Dengan kata lain manusia sebagai makhluk sosial menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Sistem pembelajaran Bahasa arab ini lebih cepat (lebih efektif) mengantarkan siswa menguasai bahasa arab sebagai alat komunikasi apabila didukung oleh komunitas sosial yang menggunakan Bahasa arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Artinya, komunitas sosial yang menuntut setiap orang yang ada di dalamnya untuk selalu berkomunikasi dengan Bahasa Arab secara aktif. Situasi kondusif ini dapat dimaklumi misalnya dua orang atau lebih yang belajar muhadatsah (percakapan) langsung, maka idenya disampaikan dengan kata-kata yang didukung dengan ekspresi mereka dan media ingkungan tempat mereka berada sehingga proses belajar menjadi efektif.
Akan tetapi pembelajaran Bahasa Arab menjadi tidak efektif apabila tidak didukung oleh lingkungan masyarakat yang menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Para pengajar yang menerapkan sistem pembelajaran Bahasa Arab ini dituntut untuk selalu menyajikan materi pelajaran Bahasa Arab secara dinamis seiring dengan dinamika perkembangan bahasa yang digunakan oleh penutur asli (native speaker) dari waktu ke waktu.
C. Aplikasi Behaviorisme dalam Pembelajaran Muhadatsah
Jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa khususnya dalam pembelajaran Muhadatsah, karakteristik teori behaviorisme terhadap pembelajaran bahasa diantaranya adalah: penyajian materi lebih banyak dengan hiwar, lebih banyak melakukan peniruan dan menghafal idiom-idiom, menyajikan satu kalimat dalam satu situasi, tidak menyajikan strukstur nahwu secara terpisah, dan lebih baik dengan sistem deduktif, lebih menitik beratkan pada ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa dalam komunikasi dan banyak menggunakan lab bahasa, memberikan reward bagi respon positif, mensuport untuk berbahasa, perhatian lebih pada bahasa bukan isi bahasa.
Beberapa prinsip penting dalam pembelajaran bahasa dikembangkan. Pertama, bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan Bahasa merupakan lambang bunyi. Jadi, dalam pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Arab, unsur permulaannya adalah dengar dan bicara. Maka dalam hal ini guru membuat stimulus berupa suara-suara bahasa yang akan membiasakan siswa mendengar ujaran tersebut.
Kedua, bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Fakta menunjukkan bahwa ketika seseorang berbicara, tak terfikir dalam benaknya tentang apa yang hendak dikatakan selanjutnya, bagaimana aturan bahasanya baik dari segi gramatikal atau mekanisme berbicaranya. Ini sudah menjadi kebiasaan yang diwarisinya secara genetis atau secara lingkungan. Untuk mencapai pembiasaan itu diperlukan peniruan, pengulangan, pendarasan, latihan dan pemantapan secara berkelanjutan.
Ketiga, ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa. Prinsip ini memandang penting bahwa penggunaan bahasa merupakan tujuan dari belajar bahasa itu sendiri. Penguasaan tentang bahasa, seperti gramatika hanya sarana dan penunjang belaka. Jadi, tata bahasa bukanlah tujuan pembelajaran bahasa, melainkan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran bahasa adalah berbicara dalam bahasa tersebut dan bukan berbicara tentang bahasa tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa hendaknya membiasakan siswa untuk berbahasa hingga di tahap selanjutnya perolehan bahasa akan dicapai dengan mudah. Untuk memberikan stimulus tersebut, dapat dilakukan dengan membuat kondisi atau situasi pembelajaran yang mendorong respon siswa untuk menggunakan bahasa sesuai dengan konteks yang telah dibuat,
Keempat, bahasa adalah tutur penutur asli bahasa (native speaker) tersebut dan bukan apa yang orang lain pikirkan atau perintahkan mereka harus bertutur. Prinsip ini mengindikasikan bahwa pentingnya peniruan terhadap performansi bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa asli. Yang dikatakan dan diujarkan oleh penutur asli itulah yang dijadikan sebagai standar berbahasa yang benar.
Kelima, bahasa-bahasa itu tidak sama. Setiap bahasa mempunyai identitas dalam struktur dan makna. Karena itu, setiap bahasa harus diperlakukan sesuai dengan strukturnya secara otonom. Prinsip ini konsisten dengan prinsip keempat tersebut, karena standar berbahasa yang benar haruslah sesuai dengan yang digunakan oleh penutur asli, bukan non-penutur asli yang biasanya cenderung menganalisis sebuah bahasa dalam istilah dan konsep bahasanya sendiri (bahasa ibu). Secara prosedural, penggunaan metode ini dalam pembelajaran bahasa khususnya pembelajaran muhadatsah didasarkan atas tahapan-tahapan berikut: mendengar, mengulangi (oleh siswa), pemberian penjelasan (oleh guru), latihan-latihan (drill), generalisasi (tata bahasa), membaca dan menulis.
Albert Bandura (1925) berpendapat bahwa Aplikasi teori behaviouristik terhadap Guru yang menggunakan paradigma behaviourisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Teori ini tidak luput dari kritik dan kelemahan. Kritik dan kelemahan teori ini, antara lain, adalah sebagai berikut:
(1) Basis penelitian dalam rangka formulasi teori ini adalah penyelidikan terhadap perilaku binatang (anjing dan tikus), lalu diterapkan pada perilaku manusia, padahal perilaku manusia tidak semua sama dengan perilaku binatang; madzhab kognitif menambahkan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan dasar (lahiriyah) yang mendorongnya mampu bernahasa, ia mempunyai akal yang berlian yang mampu memahami situasi external maupun internal ketika terjadi kegiatan bahasa; (2) Belajar bahasa dengan teori ini hanya cocok untuk siswa usia muda, bukan untuk orang dewasa; (3) Pembelajar bahasa : dilatih mendengar dan menirukan, bahkan menghafal, sehingga sering menimbulkan kelelahan dan kejemuan, padahal substansi yang didengar dan ditirukan mungkin belum dipahami sepenuhnya; (4) Guru dituntut memiliki keterampilan yang hampir sama dengan penutur asli, padahal tidak semuanya memiliki kemampuan penuturan sama persis dengan penutur asli, paling tidak mendekati aslinya; (5) Waktu yang diperlukan untuk pembelajaran bahasa juga relatif lama, karena memerlukan banyak pengulangan dan latihan sebagai usaha untuk membiasakan pembelajar; dan (6) Kemampuan berbahasa yang dihasilkan dengan penerapan teori ini cenderung mekanistik, tidak melalui proses yang alami karena pembelajaran dilakukan dengan pembuatan stimulus termasuk di dalamnya menciptakan lingkungan dan situasi yqng mampu merangsang respon siswa, bukan atas kesadaran tersendiri.
Albert Badura menambahkan metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas kelenturan respon. cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua.
Namun demikian, berbagai kelebihan teori ini masih perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran bahasa Arab khususnya dalam pembelajaran Muhadatsah. Di antaranya adalah pentingnya: (1) pengenalan keterampilan mendengar dan berbicara sebagai awal dalam pembelajaran sebelum keterampilan membaca dan menulis; (2) latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus menerus agar pembelajar memiliki keterampilan berbahasa dan terbentuk kebiasaan menggunakan bahasa; (3) belajar bahasa lebih pada penggunaan bahasa sebagai tujuan, dan bukan belajar tentang bahasa; (4) penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan berbahasa secara efektif; (5) penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli; dan (6) memotivasi guru bahasa untuk terampil berbahasa secara baik dan benar, sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa. Penerapan teori behaviorisme ini dalam pembelajaran bahasa Arab khususnya pembelajaran muhadatsah akan efektif, jika pembelajar memiliki motivasi yang kuat, didukung oleh penciptaan lingkungan berba-hasa Arab yang kondusif seperti di beberapa pondok pesantren modern yang bahasa kesehariannya adalah bahasa Arab.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab , tidak lain adalah (1) untuk membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir tahriry); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa yang sudah dipelajari di kelas; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu anatara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.


Referensi :

'Abduh al-Rajihy, Ilm al-Lughah al-Tathbiqy wa Ta'lim al-'Arabiyah, Alexandria: Jami'ah al-Iskandariyah, 1998
Abdul Aziz ibn Ibrahim al-'Ashly, al-Nadzariyyat al-Lughawiyah wa al-Nafsiyah wa Ta'lim al-Lughah al-'Arabiyah, al-Riyadl, Maktabah al-Mulk fahd al-Wathaniyah, 1999
Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi dan metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2008), hal 291 dan 294
Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2005
Alwasilah, Chaedar dan Furqanul Aziz, Pembelajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktik, Bandung: Rosdakarya, Cet. I, 1996. hal 56
Brown, H. Douglas, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'limuha, Terj. Dari The Principles of Language Learning and Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihi dan "Ali "Ali Ahmad Sya'ban, Beirut Dar al-Nahdlah al-'Arabiyah, 1994
http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/teori-behaviorisme.html, 08/04/09
http://kuliahkomunikasi.com/?p=17, 08/04/09
http://www.nahwumudah.com/2009/02/klasifikasi-pembelajaran-bahasa-arab/, 08/04/09.

Jumat, 05 Juni 2009



PERUBAHAN MAKNA
(التغير الدلالي)
Oleh : Mau’idzatun Nisa’

A. Hakikat Perubahan Makna
Salah satu wujud dari perubahan pada ranah budaya adalah perubahan yang terjadi pada tindak berbahasa. Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Dengan ungkapan lain, karena pemikiran manusia berkembang, maka pemakaian kata dan kalimat berkembang pula atau berubah. Perkembangan atau perubahan yang dimaksud bukan saja pada aspek bentuknya (form), melainkan juga pada aspek maknanya (learning).
Perubahan makna memperoleh perhatian dari linguis sekitar awal abad ke 19 tatkala semasiologi pertama kali memperoleh perhatian dari para linguis Jerman. Selanjutnya semasiologi ini juga berkembang di Perancis melalui para ahli siosologi bahasa, dan pada saat itu pula mereka berupaya menempatkan berbagai perubahan yang terjadi pada makna bahasa dan membuat katagori atas dasar wilayah (daerah).
B. Sebab-sebab Perubahan Makna
1. Perkembangan Dalam Ilmu dan Teknologi(ظهور الحاجة )
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang begitu cepat dan menyentuh hampir seluruh kehidupan akna sebuah kata. Perubahan makna kata sastra dari makna ‘tulisan’ sampai pada makna ‘karya imaginatif’ adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra itu berubah. Pandangan baru atau teori barulah yang menyebabkan kata sastra yang tadinya bermakan ‘buku yang baik isinya dan baik bahasanya ‘ menjadi berarti ‘karya yang bersifat imaginatif kreatif.


Fenomena perubahan makna akibat perkembangan IPTEK dalam bahasa Arab dapat kita lihat pada kata ، سيارة، dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya penggunaan ketiga kata sebagai berikut: Contoh A:
قال قائل منهم لاتقتلوه يوسف فألقوه في غيابت الجب يلتقته بعض السيارة إن كنتم فاعلين (يوسف: 10)
Contoh B : ذهب المدرس إلى الجامعة بالسيارة
Kata سيارة pada contoh A berbeda dengan makna سيارة pada contoh B. Dalam contoh A, kata سيارة berarti "sekelompok musafir". Akan tetapi pada contoh B, kata سبارة berartia mobil, karena kata سيارة berasal dari kata سار yang berarti berjalan. Akan tetapi karena adanya perkembangan teknologi transportasi, kata ini sekarang menjadi "mobil".
2. Perkembangan Sosial Budaya (التطور الاجتماعي والثقافي)
Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Sebuah kata yang pada mulanya bermakna ‘ A ‘, lalu berubah menjadi bermakna ‘B’ atau ‘C’. jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah, Misalnya kata saudara dalam bahasa sansakerta bermakana ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini kata saudara, sering digunakan untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misalnya Surat Saudara sudah saya terima.
Perubahan makna dalam bahasa Arab karena perubahan sosial budaya banayak terjadi pada istilah-istilah keagamaan , misalnya الحج , dan lain-lain. Kata الحج semula berarti "menyengaja sesuatu", atau القصد, selanjutnya makana kata ini berubah menjadi suatu bentuk ibadah, yakni bertujuan mengunjungi ka'bah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu.
3. Penyimpangan Bahasa (الانحراف اللغوي)
Pengguna bahasa kadang melakukan penyimpangan makna kata dengan kata lain yang maknanya lebih dekat atau mirip dan gejala ini mudah diterima oleh penutur bahasa. Penyimpangan bahasa ini terjadi akibat kesalahpahaman, kepaksaan, dan ketidakjelasan. Pada saat itu para linguis tidak serta merta melakukan perbaikan, sehingga masyarakat tidak sadar dan terbiasa menggunakan penyimpangan bahasa itu. Misalnya penggunaan kata الأرض yang mempunyai beberapa makna yang berbeda. Ia bisa beararti الكوكب المعروف dan الزكام . kata الليث bisa berarti الأسد dan bisa berarti العنكبوت. Para penutur bahasa terkadang juga mencampuradukkan penggunaan kata yang berkaitan dengan berbagai macam burung. Misalnya penggunaan kata الحمامة untuk العصفور dan kata الحِدأة "burung rajawali" untuk الغراب.
4. Perbedaan Bidang Pemakaian
Kata-kata yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat terbantu dari bidangnya : dan digunakan dalam bidang lain atau menjadi kosakata umum. dalam hal ini termasuk juga adalah faktor inovasi atau kreativitas (الابتداع) , inovasi atau kraetifitas salah satu sebab adanya perubahan makna. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru atau makna lain disamping makna aslinya (makna yang berlaku dalam bidangnya). Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian dengan segala macam derivasinya, seperti tampak dalam frase menggarap sawah, tanah garapan, dan petani penggarap, kini banyak juga digunakan dalm bidang-bidang lain dengan makna ‘mengerjakan’ seperti tampak digunakan dalam frase menggarap skripsi, menggarap usul para anggota, menggarap generasi muda, dan menggarap naskah drama.
Perubahan makna atas dasar bidang pemakaian dalam bahasa Arab dapat dilihat pada contoh berikut:
• والفرض هو الإجابة المحتملة عن سؤال الدراسة
• الصلاة من أفضل الفرض الذي أمر بلزومه
Kata الفرض pada contoh pertama berada pada bidang bahasan penelitian, sehingga arti yang muncul dari kata tersebut adalah hipotesis. Sementara kata kata الفرض pada contoh kedua bukan lagi diaertikan hipotesis, melainkan diartikan kewajiban, karena kata ini berada pada bidang keagamaan, khususnya bidang Ilmu Fiqh. Perubahan makna dari kewajiban ke hipotesis atau sebaliknya disebabkan oleh penggunaan kata tersebut pada kekhasan bidang atau keilmuan.
5. Adanya Asosiasi
Perubahan makna juga dapat terjadi karena adanya asosiasi antara kata yang digunakan dan hal atau peristiwa lain yang berkaitan dengan kata tersebut sehingga memunculkan makna baru. Perubahan makna secara asosiasi terjadi pula pada kata amplop, kata amplop berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat, makna asalnya adalah sampul surat, ke dalam amplop itu bisa dimasukkan benda lain misalnya uang, oleh karena itu, dalam kalimat beri saja amplop maka urusan pasti beres kata amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat tapi berisi uang sebagai sogokan.
Dalam bahasa Arab juga didapati kata atau istilah yang berubah makna asalnya karena adanya asosiasi. Misalnya kata الحلاوة , makna asalnya adalah "manisan" atau "kemanisan", tetapi dalam lingkungan tertentu bisa diasosiasikan dengan "upah", "tip", dan "bingkisan".
6. Pertukaran Tanggapan Indera
Di dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan alat indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Ditanggap oleh alat indera penglihatan mata, seperti dalam kalimat tingkah lakunya kasar. Keadaan ini, pertukaran alat indera penanggap, biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya ‘sama’ dan aisthetikas artinya ‘tampak’. Contoh lain, perhatikan kalimat-kalimat berikut : suaranya sedap didengar, warnanya enak dipandang, suaranya berat sekali, bentuknya manis, lukisannya sangat ribut, dan kedengarannya memang nikmat.
Sedap adalah urusan indera perasa lidah, tetapi dalam contoh di atas menjadi tanggapan indera pendengaran; enak adalah juga urusan indera peraba lidah, tetapi dalam contoh diatas menjadi tanggapan indera penglihatan yaitu mata; suara adalah urusan indera pendengaran tetapi dalam contoh di atas menjadi indera perasa. Begitu juga dengan contoh lain, manis, ribut, dan nikmat yang ditanggap oleh indera yang bukan seharusnya.
7. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Disamping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang “tinggi”, atau yang mengenakkan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Kata bini dewasa ini dianggap peyoratif, sedangkan kata istri disebut amelioratif, kata laki dianggap peyoratif berbeda dengan suami yang dianggap amelioratif. Contoh lain kata bang (seperti dalam bang Dul) dianggap peyoratif; sebaliknya kata bung seperti dalam Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Gafur) dianggap amelioratif.
8. Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu, maka kemudian orang lebih banyak menggunakan singkatannya saja daripada menggunakan utuhnya. Misalnya, kalau dikatakan Ayahnya meninggal tentu saja maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia. Begitu juga dengan kata berpulang tentu maksudnya adalah berpulang ke rahmatullah.
Sebetulnya dalam kasus penyingkatan ini bukanlah peristiwa perubahan makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh (panjang) disingkat menjadi bentuk tidak utuh atau pendek.
9. Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan kata) akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal. Dalam bagian pendahuluan sudah dibicarakan kalau bentuk berubah maka makna pun akan berubah atau berbeda. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses gramatikal, dan proses gramatikal itu telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.


10. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, entah dengan menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan, maupun memberi arti baru sama sekali. Misalnya kata papan yang semula bermakna ‘lempengan kayu’ (besi, dsb) tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘perumahan’; kata sandang yang semula bermakna ‘selendang’ kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘pakaian’.
11. Perpindahan secara Majazi (makna kiasan) (الانتقال المجازي)
Pada umumnya peristiwa ini belangsung dengan spontan dan secara tiba-tiba. Dan hal ini dapat membedakan antara penggunaan makna majazy dan makna haqiqy.
Misalnya رجل الكرسي ليست رجلا.
12. Emosi (Perasaan Jiwa) (المشاعر العاطفية والنفسية )
Beberapa bahasa digunakan dan diucapkan dengan tujuan untuk mencela secara terang-terangan. Oleh karena itu perlu adanya penghalusan sehingga para penutur bisa merubah readaksi, dari kata-kata yang jelek diubah seakan-akan tidak jelek. Dan pengahalusan inilah salah satu penyebab perubahan makna. Misalnya kata ke belakang bisa diartikan ke kamar mandi, sehingga seakan-akan dapat menutupi kejelekan kata kamar mandi.
C. Macam-macam Perubahan Makna
Ada beberapa bentuk atau jenis perubahan makna sebagaimana berikut;
1. Perluasan Makna (Tausi’ul Ma’na)
`Yang dimaksud perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Perluasan makna (widening/ extension) terjadi manakala didapati perpindahan dari makan khusus ke makan umum. Dalam bahasa Indonesia, misalnya kata saudara, bapak dan ibu semula digunakan untuk meneyebut orang yang mempunyai hubungan darah. Akan tetapi, sekarang makna tersebut meluas. Artinya, kata saudara, bapak dan ibu bukan saja digunakan untuk orang yang mempunyai hubungan darah, melainkan juga untuk digunakan orang lain.
Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap perluasan makna, perhatikan dan bandingkan contoh A1 dan A2 serta B1 dan B2 berikut ini:
 Contoh A1: Bapak saya bekerja di perusahaan swasta.
 Contoh A2: Ide bapak itu ideal, tetapi sulit diterapkan.
 Contoh B1إذ قال ليوسف و أخوه أحبّ إلى أبينا منا ونحن عصبة، إن أبانا لفي ضلال مبين. :
 Contoh B2 لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
2. Penyempitan Makna (Tadlyiqul Ma’na)
Penyempitan makna (narrowing) yang oleh Ibrahim Anis disebut dengan takhsishul ma’na adalah perubahan makna dari yang umum (kully) ke yang lebih khusus (juz’iy). Yang dimaksud dengan perubahan penyempitan adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada umumnya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja.
Dalam bahasa Indonesia, kata tukang yang memiliki makna luas ‘ahli’ atau ‘bisa mengerjakan sesuatu’, maknanya menjadi terbatas dengan munculnya unsur pembatas, misalnya pada: tukang kayu, tukang catut, tukang tambal ban, dan seterusnya. Dalam bahasa arab kata حرامي pada awalnya memiliki makna luas, yakni mengacu pada setiap perbuatan yang haram. Akan tetapi, sejak abad ke 7 H, dalam beberapa buku cerita, makna kata ini menyempit, yakni berarti maling atau al-lishshu. Bahkan sampai sekarang, kata حرامي yang berarti maling masih digunakan. Demikian pula kata الحريم yang awalnya digunakan untuk mengacu pada setiap muhrim mengalami penyempitan makna, yakni mengacu pada perempuan (an-nisa’).

3. Perpindahan Makna (Naqlu al-ma’na)
Perpindahan makna dalah suatu gejala perubahan makna yang terjadi karena adanya makna asal berpindah atau berubah menjadi makna baru. Perpindahan makna ini identik dengan perubahan total. Perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut paut tersebut tampaknya sudah jauh. Dia memberikan contoh kata ceramah pada mulanya berarti cerewet atau banyak cakap, tetapi kini menjadi ‘pidato atau uaraian’ mengenai suatu hal yang disampaikan.
Dalam bahasa Arab, contoh kata الشنب yang semula berarti bibir yang indah dan gigi yang putih bersih sekarang berganti makna menjadi الشارب ‘kumis’. Ungkapan طول اليد yang semula sebagai sebutan untuk السخاء ‘seorang dermawan’ berubah menjadi السارق ‘pencuri’.
Makna baru akibat perpindahan makna (Naqlu al-ma’na) ini ada yang memiliki nilai rasa rendah (inhithahh al-ma’na) dan ada yang memiliki nilai rasa tinggi. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan kata-kata yang nilai maknanya menjadi tinggi disebut ameliorative.

4. Penghalusan
Penghalusan atau yang disebut eufemisme merupakan salah satu bentuk perubahan makna. Eufemisme berarti pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu, misalnya frase ke belakang (untuk berak). Dalam eufisme ini kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikannya. Dalam bahasa Arab, ungkapan yang digunakan untuk berak (dalam bahasa Indonesia dihaluskan menjadi ke belakang) atau تغوط sebagaimana dalam tuturan أريد التغوط, tetapi menurut salah seorang penutur asli ungkapan yang digunakan adalah إلى دور المياه.

5. Perubahan Makna dari yang Konkret ke Abstrak
Perubahan makna terjadi pada kosa kata yag semula memiliki makna konkret menjadi kata yang mengacu pada makna abstark.
Kata dalam bahasa Arab yang mengalami perubahan makna dari yang konkret ke abstrak adalah kata الزكاة. Kata ini semula berarti النمو والزيادة. Dikatakan زكا الزرع إذا نما وطال وزاد (tanaman itu tumbuh, apabila ia tumbuh, memanjang, dan bertambah). Sekarang kata ini digunakan untuk mengacu pada konsep yang bermakna abstrak, yakni الطاهرة, sebagaimana disebutkan dalam surah Asy-Syams ayat 9, قد أفلح من زكاها . Kata زكاberarti mensucikan (mensucikan jiwa).
6. Pengasaran
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan, misalnya kata mendepak dipakai untuk mengganti kata mengeluarkan seperti dalam kalimat Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya.
Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tapi sengaja dipakai untuk memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya. Misalnya pada kata menggondol yang biasanya dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang,; tetapi digunakan seperti dalam kalimat Akhirnya regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu. Untuk lebih jelasnya, uraian dari jenis-jenis makna kata tersebut adalah sebagai berikut :
1. Generalisasi
Generalisasi atau perluasan adalah suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung suatu makna yang khusus, tetapi kemudian meluas sehingga meliputi kelas makna lebih umum. Contoh :
(Kata Makna dulu Makna kini); Bapak, ayah :semua lelaki yang berkedudukan tinggi, Ibu, emak: semua wanita yang berkedudukan tinggi.
2. Spesialisasi
Spesialisasi adalah kebalikan dari generalisasi, yaitu cakupan makna masa lalu lebih luas dari pada masa kini. Contoh :(Kata Makna dulu Makna sekarang): Pendeta Orang pandai, pintar rohaniawan Kristen, Gadis anak perempuan perawan yang patut nikah.
3. Ameliorasi, Ameliorasi (berasal dari bahasa latin melor ‘ lebih baik ‘ adalah suatu proses perubahan makna, yaitu makna baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti yang lama.Contoh: Suami lebih baik dari pada laki Hamil lebih baik dari pada bunting
4. Peyorasi, Peyorasi (berasal dari bahasa latin pejor ‘jelek’) adalah kebalikan dari ameliorasi. Peyorasi yaitu makna baru dirasakan lebih rendah nilainya dari arti yang lama. Contoh: Pelacur lebih kasar daripada tunasusila,
Tolol lebih kasar daripada kurang cerdas
5. Sinestesia, Sinestesia adalah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berbeda. Contoh: Nasihat guru itu asin didengar.
6. Asosiasi, Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat persamaan sifat. Contoh Kursi itu telah lama diidam-idamkannya


Referensi
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Ahmad Mukhtar Umar, Ilm al-Dilalah, Kuwait: Maktabah Dar al-'Arabiayah li al-Nasyr wa al-Tawqi', 1402 H-1985 M, cet 1
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/bahasa-indonesia/perubahan-makna
http://raf1816phyboy.blogspot.com/2009/01/perubahan-makna-kata.html
http://tunggara.wordpress.com/2008/09/24/perubahan-makna-kata
Moh Ainin, Imam Asrori, Semantik Bahasa Arab, Surabaya: Hilal Pustaka, 2008, cet 1